Di tengah-tengah beragamnya batik dunia, batik Indonesia memang belum kehilangan ciri khasnya. Batik Jawa Tengah yang dinilai memiliki motif paling kaya pun masih mempunyai roh. Namun, saat negara tetangga gencar mempromosikan batiknya ke berbagai benua, batik Indonesia seakan jalan di tempat.
Artisan batik Iwan Tirtaamidjaja mengakui, kualitas batik Indonesia saat ini makin berkurang. Ibarat wine, esensinya makin berkurang dan terus berkurang hingga akhirnya menjadi air.
Batik yang dipakai untuk busana sehari-hari saat ini sebagian besar memang print bermotif batik. Iwan Tirta sebenarnya termasuk orang yang ”mengharamkan” batik print karena akan mengurangi filosofi batik itu sendiri, seperti pembuatan motif dengan teknik perintang warna memakai malam atau pemakaian canting.
”Batik saat ini banyak, namun makin murah dan makin murah saja. Sebenarnya batik printing juga baik asalkan dibikin yang halus, jangan asal-asalan,” papar Iwan.
Josephine Komara atau Obin mempunyai pandangan berbeda. Meskipun diakui motif batik print makin populer dan dapat membahayakan eksistensi batik tradisional, Obin mencermati bahwa batik tulis, batik cap, maupun batik print telah mempunyai pasar sendiri.
”Batik Indonesia itu unik dan sangat spesial. Jadi, saya rasa tidak perlu mengontradiksikan batik tulis, cap, atau print,” kata Obin.
Memang ada perkembangan menggembirakan dalam hal konsumsi batik saat ini. Jika dulu batik hanya dikenakan untuk acara tertentu, saat ini wilayahnya makin meluas. Batik juga kerap dimodifikasi dengan motif lain untuk busana sehari-hari.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, di Jakarta sendiri banyak orang menggunakan batik bukan hanya untuk busana, namun juga dekorasi rumah. Batik juga digunakan untuk upacara pemakaman, ulang tahun, bahkan seragam kantor.
”Semenjak Gubernur Ali Sadikin, batik khususnya batik Betawi menjadi seragam wajib untuk pegawai. Anak-anak sekolah diharuskan memakai batik sehari dalam seminggu,” ujar Fauzi.
Memosisikan batik
Batik saat ini sebenarnya makin mendunia. Setidaknya itu tergambar dalam simposium tekstil tradisional ASEAN yang diselenggarakan Himpunan Wastraprema, Senin-Selasa (5-6 Desember).
Pembicara dari Malaysia, Sulaiman Abdul Ghani, yang adalah Ketua Batik International Research and Design Access University of Technologi MARA Malaysia memaparkan, tahun 2003 adalah era kembalinya batik Malaysia. Tahun ini, Malaysia bahkan mempromosikan batiknya ke sejumlah negara termasuk Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.
Padahal, seperti diakui Sulaiman, batik Malaysia yang awalnya berasal dari daerah Trenggano dan Kelantan sebenarnya sangat dipengaruhi batik Indonesia, khususnya dari Cirebon dan Pekalongan. Batik bahkan baru dikenal di Malaysia pada tahun 1920-an dan baru dijadikan industri tahun 1950-an. ”Tahun 1960-an ke atas baru ada identitas Malaysia,” ujar Sulaiman.
Lebih ironis lagi, Malaysia sebenarnya baru mengenal canting sejak tahun 1970-an dan tahun 1985 langsung terpuruk karena tidak ada inovasi dalam desain dan pewarnaan. ”Saat ini, Malaysia sudah bangkit. Kami memadukan motif tradisional dan kontemporer,” jelas Sulaiman.
Batik sekarang populer kembali di mana-mana. Ada batik Thailand, Malaysia, Vietnam, China, India, bahkan Afrika Selatan. Namun, apa sebenarnya batik, orang terkadang masih memperdebatkannya. Apakah pola ragam hias dan penggunaan canting itu penting, juga menjadi perdebatan.
Menurut Iwan, para pembuat batik sebaiknya harus kembali ke dasar. Ragam hias kuno semisal titik, ukel, dan garis itu juga harus dipertahankan. Orang yang mengerti batik sudah seharusnya bisa menceritakan bahwa di balik batik itu ada dongeng dan filosofi.
Ironisnya, orang yang paham batik jarang mempunyai kesempatan menularkan pengetahuan tentang batik. Jika ada pameran batik di luar negeri, yang datang sebagian besar adalah pedagang batik yang berbicara lebih pada harga dan nilai komersialnya.
Batik bagi Iwan adalah ikon Indonesia, seperti halnya jamu atau kerajinan kayu. Oleh karena itu, batik harus selalu dijunjung tinggi, dihormati, dan diletakkan pada aras internasional sebagai ciri kebudayaan Indonesia. Batik tidak hanya sebagai art to wear, namun juga untuk dekorasi gamelan dan wayang.
”Kelemahan orang tak akan terlihat ketika dia memakai batik, terutama batik tradisional. Yang terlihat justru kekuatan. Itulah mengapa saya bisa hidup dan mengalami masa enam presiden di Indonesia. Di mana pun, kita akan menjadi lebih kaya dengan batik,” jelas Iwan.
Bagi Iwan, tidak perlu lagi mempertentangkan asal muasal batik. Khusus untuk ASEAN, bahkan Asia, sebaiknya digalang kerja sama untuk terus mempromosikan batik. Misalnya dengan membuat motif batik Jawa Tengah di atas kain sari dari Banglades atau motif cinde di atas kain tenun dari India, dan seterusnya.
Sumber : (Susi Ivvaty) Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar