Kamis, 23 September 2010

Bisnis Kerajinan Kain Lurik Sampai Luar Negeri

                                                          Aneka Kerajinan Lurik

Kain Lurik merupakan kain tradisional yang berkembang di wilayah Yogyakarta. Popularitas kain lurik mungkin kalah dengan kain batik yang telah menjadi budaya secara nasional. Kain lurik model lama memang terkesesan kuno dan ketinggalan jaman, sehingga kurang diminati dalam dunia fashion. Pada awalnya kain lurik banyak dipakai oleh mbok-mok penjual di pasar tradisional, sebagai gendongan. Namun setelah ada modifikasi dan inovasi dalam berbagai hal seperti pewarnaan yang lebih cerah dan motif yang lebih beragam mulai diterima pasar secara luas sampai segmen pasar menengah ke atas. Meski beberapa inovasi produk dilakukan terhadap kain lurik, pembuatan kain lurik dipertahankan melalui cara tradisional dengan penggunaan alat tenun bukan mesin.
Kekhasan corak kain lurik tradisional dan proses pembuatannya yang masih menggunakan tangan menyebabkan nilai jual produk turunan kain lurik tinggi. Tak hanya pasar dalam negeri, kain lurik pun mulai merambah pangsa luar negeri.
Salah satu industri yang intens menekuni bisnis kerajinan kain lurik adalah Kerajinan Lawe yang memiliki bengkel kerja Lawe di Bugisan, Bantul, DI Yogyakarta. Lawe bekerja sama dengan 50 penenun tradisional di Bantul dan 20 penjahit.
Beberapa produk kain lurik yang dihasilkan berupa gantungan kunci, dompet, tas, pakaian, hingga bed cover. Harga beragam produk itu berkisar antara Rp 5.000 dan Rp 1,1 juta. Rentang harga pakaian lurik Rp 200.000-Rp 300.000 per potong. Bidikan utama Lawe adalah masyarakat kelas menengah ke atas.
Kelompok usaha bersama abdi dalem Keraton di Kota Gede juga tertarik menggalakkan usaha kecil pembuatan pakaian tradisional dari kain lurik. Mereka memanfaatkan motif kain lurik tradisional yang didominasi warna hitam, cokelat, dan putih. Menurut salah satu anggotanya, Budi Raharjo, setiap orang bisa menyelesaikan dua pakaian lurik per hari yang dijual Rp 120.000 per potong.
Pangsa pasar kain lurik pun terbuka luas. Tak hanya Yogyakarta, beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Denpasar, juga meminati kain lurik. Menurut Direktur Kerajinan Lawe Fitria Werdiningsih , Lawe juga telah mengembangkan pemasaran kain lurik dengan mulai merintis ekspor dengan pengiriman sampel produk ke Belgia dan Australia.(Galeriukm).

Selasa, 31 Agustus 2010

Meriahnya Pasar Murah di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah

Pasar murah yang diadakan di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah yang diselenggarakan sejak 31 Agustus hingga 2 September berlangsung meriah. Hal itu ditandai dengan 50 Stan yang terdiri dari Pakaian, Tas, Makanan, Sembako, dan lain- lain yang dijual secara murah dan terjangkau untuk semua orang.

Minggu, 29 Agustus 2010

Sancaya Rini sukses produksi batik berwarna alami


Dalam industri batik nasional, nama Sancaya Rini mungkin belum setinggi langit. Namun kiprahnya dalam industri tekstil ini cukup mendapat sorotan. Pasalnya, kain batik yang diproduksinya menggunakan bahan baku ramah lingkungan. Jenis batik ini ternyata digemari kalangan menengah ke atas dan kaum ekspatriat.

Siapa tak kenal kain batik? Tak hanya di Indonesia, nama batik sudah membahana hingga dunia internasional. Pamor batik semakin menanjak setelah tahun lalu UNESCO mengakui batik diakui sebagai bagian budaya dunia dari Indonesia.

Sejatinya, batik bukanlah nama sejenis kain. Batik adalah proses atau cara pembuatan bahan pakaian. Dalam proses pembuatan batik, ada tahap pewarnaan yang menggunakan malam. Kain dibatik juga menggunakan motof-motif dengan pakem tertentu.

Lambat laun orang menyerhanakannya dengan menyebut kain yang dibatik dengan motif tertentu dengan sebutan kain batik. Umumnya setiap daerah, seperti di Pulau Jawa, memiliki motif batik masing-masing.

Meski kain batik merupakan warisan nenek moyang, bukan berarti tak ada perkembangan. Salah satu warisan budaya ini telah tersentuh modernisasi. Anda tentu pernah mendengar istilah kontemporer. Ini adalah sebutan untuk batik yang motifnya bergaya moderen atau lepas dari motif pakem.

Nah, salah seorang yang menekuni batik kontemporer adalah Sancaya Rini. Di bawah bendera usaha Creative Kanawida yang berlokasi di Pamulang, Tangerang, Banten, Rini membuat aneka motif batik kontemporer.

Berbeda dari kebanyakan produk batik kontemporer, Rini membuat batik dengan menggunakan bahan pewarna alami dengan waran-warana yang alami pula.

Pewarna alami tersebut terbuat dari berbagai bagian tumbuhan, seperti kulit, daging buah, dan daun. Beberapa bahan yang digunakan seperti kulit jengkol, kulit rambutan, kulit mangga, buah alpukat dan buah manggis. "Saya bisa menggunakan tumbuhan apapun karena saya suka coba-coba," akunya.

Rini memiliki kemampuan membuat bahan pewarna batik berkat ilmu singkat yang dia peroleh di Museum Batik di Tanah Abang, Jakarta Pusat tahun 2005. Di museum inilah dia belajar membatik. Selebihnya keterampilan dikembangkan sendiri oleh Rini dengan cara terus mempraktikkannya.

Cara membuat pewarna alam, tutur Rini, sangat mudah. Bagian tumbuhan berupa daging buah, kulit, atau daun yang sudah kering atau busuk direbus dengan air. Air rebusan tadi lalu didiamkan minimal semalam. Hasil saringan rebusan itulah yang kemudian dijadikan sebagai pewarna alam.

Ciri utama warna alam adalah warnanya tak terlampau mencolok. Tak akan ada selembar pun kain batik yang dibuat dengan pewarna alami mempunyai warna yang benar-benar mirip dengan kain batik lainnya. Maklum, tiap pengolahan warna akan menghasilkan warna berbeda.

Kekhasan lain batiknya, Rini juga menggunakan bahan kain untuk dibatik dari berbagai serat. Antara lain serat nanas, rami dan sutera.Berbada dengan pewarna alami, Rini tidak membuat sendiri kain-kain tersebut. Dia menggandeng perajin dari beberapa daerah sebagai pemasok kain.

Untuk mengerjakan batik kontemporer ini, Rini mempekerjakan enam karyawan yang dia latih. Rini sendiri masih memegang peranan dalam penciptaan warna alam dan motif. Saudara kandung dan anaknya yang menimba ilmu di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB) juga kerap menyumbangkan motif.

Rini mengatakan, selama enam bulan terakhir ini, Creative Kanawida membuat tema motif "under water". Ini adalah motif yang terinspirasi dari flora maupun fauna yang hidup di dasar laut. Misalnya motif bintang laut dan plankton.

Dengan motif unik dan warna alam terbatas hanya pada warna cokelat, merah tua, biru dan hijau, batik Creative Kanawida mampu menyuguhkan produk kain batik yang berbeda.

Produk yang berbeda tersebut justru mampu menjerat pasar premium dan kaum ekspatriat. Secara konsinyasi, produk ini dijual di Alun Alun Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Salah satu gerai di pusat perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat juga menjualnya. "November besok akan hadir di The Living World Alam Sutera, Serpong," kata Rini.

Pengrajin bangga tenun lurik wajib dipakai PNS

IMBAUAN gubernur agar setiap Rabu para pegawai di Klaten wajib memakai pakaian lurik produk lokal warga setempat, merupakan angin segar bagi perajin tenun lurik di Cawas Klaten. Karena dengan adanya imbauan tersebut, permintaan bahan baku lurik jelas meningkat. Demikian pula, permintaan masyarakat terhadap batik tulis dari Desa Kebon Bayat Klaten juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Sedangkan batik produk Klaten untuk pewarnaannya rata-rata tidak memakai bahan kimia, sebaliknya, bahan pewarnaan batik Klaten dari rempah-rempah yang menghasilkan warna secara alami. Bahan pewarnaan ini diperoleh dari kayu dan daun sehingga batik produk Klaten dinyatakan ramah lingkungan.
Bila dipakai juga terasa nyaman di tubuh dan digemari masyarakat. Bahan-bahan pewarna untuk batik di Klaten antara lain diperoleh dari kayu mahoni, secang, teger, jambal, kayu pohon nangka, mangga, jati dan lain-lain. Bahan-bahan pewarna alami ini dimasak, sedangkan untuk memperoleh pewarnaan, setiap 20 liter air yang dicampur dengan kayu-kayu untuk menghasilkan pewarnaan alami hanya memperoleh delapan liter saja.
”Melalui penyusutan air yang dicampur dengan bahanbahan kayu untuk memperoleh warna yang lebih afdol, air dimasak menyusut hingga lebih dari separo yang kami peroleh,” kata ketua kelompok tim promosi Desa Kebon Kecamatan Bayat, Daliyem ini.
Dipakai pegawai
Hal senada juga diungkapkan perajin tenun lurik Yusiti dari Desa Burikan Kecamatan Cawas Klaten. Menurutnya, pemerintah mensuport produk tenun lurik untuk dipakai pegawai. Mereka pesan bahan lurik khas dari Cawas. ”Kami menyambut gembira, para PNS wajib memakai pakaian lurik setiap Rabu, sedangkan para pegawai itu banyak yang pesan dari produk kami,” kata Yusiti dengan bangga.
Menurut Yusiti, produk lurik Burikan, khas dan alami. Bahan baku dari benang pesan dari Surabaya, sedangkan untuk jenis bahan katun diperoleh dari India. Benang yang dipesan diberi warna secara alami sesuai selera. Kemudian setelah proses pewarnaan, benang dibuat kain dengan bentuk lurik dengan alat secara tradisional, menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM).
Yusiti saat mendapat kunjungan pejabat Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bersama wartawan, baru-baru ini mengaku beberapa kali mengikuti pameran di sejumlah kota besar, antara lain seperti di Pontianak, Bali, Jakarta. Tujuan mengikuti pameran untuk mempromosikan lurik Klaten agar lebih dikenal secara nasional.
Bahkan, kata Yusiti, batik lurik Burikan juga dipakai artis ibukota, pejabat, pengusaha dari pusat sehingga batik lurik Burikan sudah kondang di mana-mana, kendati berasal dari Klaten. ”Kami berani bersaing dengan batik Pekalongan. Karena masing-masing batik punya ciri dan khas. Sedangkan batik lurik terkenal ramah lingkungan lantaran bahan-bahan pewarnaannya didapat secara alami,’’ kata Yusiti. bgy
 

Masa depan Tenun Lurik cerah

Penampilan Baru
Bahan tenun bergaris dikenal sebagai lurik sering dianggap membosankan dan hanya dikenakan oleh generasi tua. Tapi kain tenun telah memasuki era baru, menjanjikan bab baru, dan sedang berubah menjadi produk yang menarik dan penuh warna.

Lurik modern, dengan berbagai desain, sekarang yang diproduksi oleh koperasi Lawe, yang dimiliki oleh asosiasi Yogyakarta penenun disebut Lawe Asosiasi yang dibentuk pada tahun 2004.

Di masa lalu, kebanyakan berasal kain warna hitam dan digunakan untuk dihargai hanya untuk nilai fungsional - yang dipakai oleh orang-orang mengambil bagian dalam ritual atau upacara tradisional.
Akibatnya, banyak penenun yang digunakan untuk memproduksi lurik - kerajinan tradisional yang diwarisi dari leluhur - yang telah gulung tikar, karena produk tidak lagi dicari di pasar

Sample image
Sample image
Penampilan baru: Berbagai produk yang dibuat dari bahan tenun bergaris-garis lurik yang dikenal sebagai diproduksi oleh koperasi Lawe Yogyakarta. Mereka termasuk selimut, dompet, tas dan melihat clothes.New: Berbagai produk yang dibuat dari bahan tenun bergaris-garis lurik yang dikenal sebagai diproduksi oleh koperasi Lawe Yogyakarta. Mereka termasuk selimut, dompet, tas dan pakaian.
Di tangan para Lawe koperasi, lurik hadir dengan warna-warna cerah dengan sentuhan modernitas, mengikuti permintaan pasar.
"Kami menginginkan kerajinan tenunan lurik untuk dilihat sebagai sebuah ikon baru di Yogyakarta, berdiri berdampingan dengan batik. Kami ingin hal itu untuk menemukan tempat di semua bagian masyarakat. Lurik telah menjadi bagian dari gaya hidup kita sehari-hari. Itu adalah target kami, " kata Fitria Wandiningtyas, Bagian Humas Lawe.
Dia mengatakan Asosiasi Lawe berada di garis depan kegiatan untuk menyelamatkan tenun tradisional.
Melalui kegiatan usaha, koperasi yang memproduksi kerajinan lurik Lawe menggunakan alat tenun tradisional, bukan mesin-mesin modern atau disebut ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin).
"Banyak penenun berhenti bekerja karena produk mereka itu membosankan dan tidak menjual, jadi kami mencoba untuk menghidupkan kembali kerajinan dengan menghasilkan hal-hal baru," kata Fitria.
Sebelum memulai produksi, koperasi Lawe dilakukan penelitian untuk menentukan produk yang ideal dan mencari desain terbaru.
Para penenun telah dilatih untuk membentuk jaringan pekerja untuk membantu mengubah cara masyarakat memandang tenun tradisional.
Koperasi Lawe yang bekerja dalam sebuah sistem yang didasarkan pada industri rumah kecil. Desain terus diperbarui. Mereka juga diteliti dan tunduk pada pengawasan jaminan mutu rutin.
Yang lurik dihasilkan oleh pengrajin yang tersebar dari Gunung Kidul di Bantul untuk Sleman dan Kulonprogo.
Karena produk yang dibuat dalam industri rumahan, para pengrajin tidak perlu meninggalkan tugas-tugas rumah tangga dan dapat tetap kreatif dan produktif.
Berbagai produk yang dipasarkan oleh koperasi Lawe dapat dilihat dalam galeri yang dimilikinya di Amri Yahya Museum Gampingan, Yogyakarta. Meskipun Asosiasi Lawe memiliki kantor di daerah Bugisan di Bantul, mereka juga tetap mengadakan kegiatan-kegiatan pendukung yang membantu melestarikan tradisi menenun.
Traditiional cara: Seorang pria membuat bahan tenun bergaris-garis atau lurik di Kulon Progro, Yogyakarta.

Sample image
Sample image
Koperasi Lawe mengikuti tren terbaru dan warna, dari tas, tas laptop dan tas untuk fashion ikat pinggang dan kalung yang unik. Lawe koperasi yang juga menghasilkan berbagai hal untuk menghiasi interior rumah.
Taplak meja dan tirai yang terbuat dari bahan lurik menciptakan kesan sebuah rumah dengan sedikit gaya tradisional dalam dekorasi interiornya. Produk lain seperti sarung guling, bantal, sprei tempat tidur dan dihiasi lampu kamar membuat merasa nyaman dengan sentuhan etnis.
Kantor Koperasi Lawe juga memproduksi produk-produk seperti kotak pensil, rak majalah dan banyak lagi. Ini juga menerima pesanan untuk giveaway kit untuk digunakan pada seminar atau sebagai suvenir.
Harga untuk produk-produk koperasi Lawe bervariasi dan wajar. Untuk souvenir pernikahan, harga mulai dari Rp 5.000 (45 sen Amerika) per item. Untuk tas laptop dan tas, harga mulai dari Rp 16.000 hingga Rp 40.000. Untuk kantong belanja harga bisa mencapai Rp 850.000.
Fitria mengatakan Lawe tujuan koperasi adalah untuk membuat lurik trendi sementara menghidupkan kembali dan melestarikan tradisi.
Anindyah, kepala Asosiasi Lawe dijelaskan lebih lanjut.
"Dengan menghasilkan banyak hal dari lurik, kami berharap dapat berbagi keindahan lurik."

Usaha Tenun Lurik Menarik Dari Koran Bekas

Desainer muda berbakat Denny Wirawan berencana akan "membawa" tenun khas Indonesia ke ajang internasional. Dia akan menggelar hasil rancangannya yang terbuat dari kain tradisional Indonesia itu ke Dubai dan Mumbai dalam waktu dekat. "Bagaimanapun tenun tengah menjadi perhatian, bahkan merek luar negeri yang sudah mapan juga mulai meliriknya. Lantas, mengapa kita yang memiliki kekayaan tradisional itu tidak melakukannya?" kata Denny beralasan, saat ditemui di pameran Adiwastra Nusantara di ICC, Jakarta, pekan lalu.
Perancang busana yang sudah berkiprah hampir 13 tahun di dunia mode Tanah Air itu mengaku baru lima tahun lalu dirinya menggali potensi tenun daerah, di antaranya tenun dari Bali, NTT, NTB, dan Sulawesi Tenggara. Denny mengatakan sebenarnya ketika menjalani masa kecil di Bali dia sudah mengenal kain tenun, namun saat memulai karier sebagai perancang dia tidak terpikir untuk menggalinya lebih dalam.
Pemikiran itu lambat laun berubah, kini Denny menyadari bahwa masih banyak potensi daerah yang bisa diangkat dan digunakan oleh para perancang. Hal itu pun lantas dia buktikan dengan menggelar beragam koleksi tenunnya, ada tenun Tolaki, Buton, dan Muna dari Sulawesi Tenggara pada Desember tahun lalu. "Saya merasa sebagai desainer memiliki kewajiban untuk turut melestarikan dan mengangkat tenun dengan gaya yang baru," ujarnya.
Hal itu pula yang membuat Denny berniat untuk memopulerkan kain tenun ke dunia internasional. Sebelum pergelaran busana di Dubai dan Mumbai bulan depan, Denny sudah mengawalnya dengan menggelar show di Paris, Prancis. Dia meyakini kain tenun tidak akan kalah populer dengan kain batik yang memang sudah familiar di mata internasional.
Ketika ditanyakan alasannya memilih kain tenun sebagai objek rancangannya, Denny mengatakan, "Bagi saya tenun lebih ready to wear. Apabila dibandingkan dengan batik pengerjaannya memang lebih sulit, ada tantangan yang lebih besarlah." Selain merancang beragam koleksi dari kain tenun daerah tertentu, Denny juga melakukan kolaborasi dengan perajin tenun setempat, seperti perajin di Sulawesi Tenggara dan Bali.
Kreatifitas memang tak mengenal batas. Kertas koran yang mudah sobek bisa disulap jadi tenun lurik yang menarik. Hal ini dilakukan Sandiyo, warga Desa Bowan, Delangu, Klaten, Jawa Tengah. Usaha Sandiyo diawali hanya coba-coba.

Buah tangan Sandiyo dibuat dengan cara yang sama seperti karya tenun lainnya. Awalnya koran bekas dipotong-potong dengan lebar sekitar setengah sentimeter. Kemudian potongan kertas dipadukan dengan benang, ditenun dengan alat tenun bukan mesin.

Memang agak berbeda dengan proses tenun biasa. Membuat kerajinan tenun kertas koran tidak bisa dilakukan dengan cepat karena kertas tidak bisa dipintal hingga potongan kertas harus satu persatu dimasukkan ke alat tenun.

Usaha lurik kertas koran ini dirintis sekitar lima bulan lalu. Sandiyo mendapat ide membuat tenun kertas koran saat melihat banyak alat tenun pembuat serbet yang terbengkalai karena sejumlah perajin tenun serbet gulung tikar.

Tenun lurik kertas koran sekarang dimanfaatkan sebagai bahan dasar sejumlah kerajinan mulai dari taplak hingga tas. Karya kerajinan unik ini yang harga dasarnya Rp 8.000 per meter telah memasuki pasar berbagai kota mulai Jakarta hingga Bali.

LURIK SI KAIN BERGARIS-GARIS

Lurik adalah jenis bahan khas nusantara yang juga melewati proses penenunan dalam pembuatannya. Setelah diberi warna, benang-benang ditenun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin).
Salah satu contoh lurik adalah seperti pada gambar ini:

Jika dulu yang biasa dibayangkan orang tentang lurik adalah sebatas kain garis-garis dengan warna-warna dasar seperti coklat, hitam, dan putih, kini sudah tidak begitu lagi keadaannya.
Lurik kini memiliki ragam warna yang kaya. Seperti contohg di atas, warnanya berkisar antara pink, ungu, hijau muda, dan banyak lagi warna-warna lainnya yang indah-indah.
Silakan klik di sini untuk melihat koleksi lurik kainikat.com.
Pada sebuah artikel di Fashionesedaily.com tentang lurik, dijelaskan bahwa lurik telah ada di jawa sejak zaman pra sejarah. Salah satu pembuktiannya adalah pada Prasasti peninggalan kerajaan Mataram (851-882 M) yang menunjukkan adanya kain lurik pakan malang.
Dalam artikel tersebut juga dijelaskan bahwa kata lurik berasal dari bahasa Jawa kunolorek yang berarti lajur atau garis, belang dapat pula berarti corak. Selain sebagai busana, lurik juga kerap diaplikasikan pada unsur fashion lainnya seperti pada tas ataupun dompet. Sementara itu, lurik juga digunakan untuk mempercantik tampilan placemat.